Safari Puisi


I.

Aku ingin menulis puisi seperti Sapardi

Yang menitipkan pada aksara perihal kejernihan mata hati

Pada alam semesta, lebih dari sekedar tamasya indrawi

 

Tapi hujan tak datang pada bulan Juni kali ini, Pak Sapardi

Melainkan angin kemarau yang menghembuskan kabar-kabar buruk tanpa permisi.

Datang tanpa aba-aba, mencoba menjarah apa-apa saja yang paling berharga;

Dada yang tenang, kepala yang waras, tubuh yang lapang

Hikmat misa para jemaat atau barisan shaf sholat jumat

Bahkan dua belas ribu nyawa yang tak sempat diselamatkan nafas terakhirnya

Dan yang tersisa hanyalah orang-orang cemas ditenung maut serupa debu 

yang diam-diam akan menyelinap ke paru-paru

 

Kali ini, Pak Sapardi,

Angin yang dibenci oleh selembar daun terakhir di ranting itu, 

menjadi topan yang gemuruhnya masih mengangkasa, 

mengisyaratkan kapan tiba petaka selanjutnya



II.

Aku ingin menulis puisi seperti Rendra

Yang tiap aksaranya berkobar seperti api perlawanan yang membara

Membakar timbangan yang berat sebelah

Agar abu penderitaan sampai juga di teras rumah-rumah megah

 

Kali ini, bung Rendra,

Api perlawanan sedang dikobarkan untuk bangkit dari petaka

Pandemi yang belum terlihat ujungnya serta peringatan;

Bahwa negara-negara mengalami bradikardia

Denyut jantungnya melemah, karena ekonomi tersengal-sengal menggayut pada ambang terendah

 

Perlawanan ini adalah misi penyelamatan yang tak bisa dilakukan sendirian

Resesi adalah pasar pasar sepi

Penjual yang pembelinya tak kunjung kembali

Sementara uang-uang hanya dikunci dalam peti, tak memutarkan roda pedati yang sepat terhenti


Perlawanan ini adalah misi penyelamatan yang tak bisa dilakukan sendirian

Kobaran apinya jangan sekali-sekali dipadamkan dengan tiupan syak wasangka atau angkara

yang besarnya melebihi kepala sehingga tangan-tangan yang harusnya bergandengan 

justru saling menodong bedil ketidakpercayaan

 

Perlawanan tetap tentang keberpihakan

Sebaik-baiknya hajat adalah pencarian kebenaran

dan seburuk-buruknya cara adalah peluru-peluru yang salah sasaran



III.

Aku ingin menulis puisi seperti Rumi

syairnya merupa tapak sunyi bertemu Ilahi

Ia tak mengantarkan pada cinta karena ia adalah cinta itu sendiri

 

Di tapak sunyi itu, belum kutemui kabut-kabut keduniaan

Yang menghalangi pandangannya menyaksikan transfigurasi Tuhan

dalam rembulan, gemintang, orang-orang di persimpangan,

dalam wabah berkepanjangan

dalam pro dan kontra,

dalam jabatan dan kedzaliman

atau uang dalam genggaman.

 

aku ingin menulis puisi seperti Rumi, yang menemui Tuhannya di hatinya sendiri.



IV.

Apabila puisi adalah hikmat perkawinan aksara yang sedang menjamu tamunya

Dan perayaan bagi kembalinya rasa manusia untuk menghidupkan kemanusiaannya

Aku ingin kembali menulis puisi seperti mencari diri sendiri

Yang tiap aksaranya kurangkai dari upah-upah yang kupungut di jalanan

Dan perkawinannya tak melahirkan anak pinak keegoisan

Yang bait –baitnya menjelma angka – angka yang berhutang pada senyuman orang-orang rentan

Yang jedanya adalah kekasih yang paling dirindukan

Atau setidaknya ketika kau baca, ia takkan berbunyi; Omong kosong kemanusiaan

 

(Ditulis dalam rangka merayakan Hari Oeang Republik Indonesia ke-74)

Komentar