Hibuk Semenjana
I.
The new normal
jargon untuk bersikap kembali normal
sampai aku bingung apa itu abnormal
II.
Aku menangis pada pukul delapan
sembab mata sambil mengukir angka
dan patuh pada detak jam dinding
dan patuh pada detak jam dinding
begitu tiap pagi
sejak selumbari
sampai mungkin esok hari
sampai mungkin esok hari
tapi aku sedang bersikap normal
agar roda kehidupan tetap berputar
III.
Welcome back normal people
kembali lagi bersama kami
dalam siaran rabu bahari
tidak perlu ada yang bersedih hati
karena disini positive vibe only
IV.
kudaku harus melesat lagi
menarik pedati yang sempat terhenti
lecut!
aku melecut kuda
lecut!
aku dilecut yang kubawa
Lecut!
kini semua kaki harus berlari
karena produktivitas tinggi harga mati
V.
Sungkawa miskin hiraunya
sembunyi di belakang garis adaptasi
ah, nanti menguap
eh, malah mengendap
lalu lengah racun sendiri
Isi kepala tak dikenali
sialnya, Ia bukan AI
yang tetap terkendali; nir emosi
VI.
Bagiku kini,
"Luka mana yang belum terobati?"
perkara penting dibagi
dari hegemoni
"Berapa banyak yang sudah kau jual hari ini"
(17 Mei 2020; setidaknya menjadi pengingat diri bahwa merasa tidak normal untuk narasi The New Normal adalah normal; di tengah saratnya lecutan produktivitas, mengakomodasi emosi-emosi negatif dari sebuah dukacita selayak-layaknya lebih baik daripada menyembunyikannya di balik toxic positivity untuk tetap waras menjalani hari; kecuali jika mengagendakan manusia bertransformasi menjadi Artificial Intelligence)
kudaku harus melesat lagi
menarik pedati yang sempat terhenti
lecut!
aku melecut kuda
lecut!
aku dilecut yang kubawa
Lecut!
kini semua kaki harus berlari
karena produktivitas tinggi harga mati
V.
Sungkawa miskin hiraunya
sembunyi di belakang garis adaptasi
ah, nanti menguap
eh, malah mengendap
lalu lengah racun sendiri
Isi kepala tak dikenali
sialnya, Ia bukan AI
yang tetap terkendali; nir emosi
VI.
Bagiku kini,
"Luka mana yang belum terobati?"
perkara penting dibagi
dari hegemoni
"Berapa banyak yang sudah kau jual hari ini"
(17 Mei 2020; setidaknya menjadi pengingat diri bahwa merasa tidak normal untuk narasi The New Normal adalah normal; di tengah saratnya lecutan produktivitas, mengakomodasi emosi-emosi negatif dari sebuah dukacita selayak-layaknya lebih baik daripada menyembunyikannya di balik toxic positivity untuk tetap waras menjalani hari; kecuali jika mengagendakan manusia bertransformasi menjadi Artificial Intelligence)
Komentar
Posting Komentar